Kisahku di Tanah Suci

20.02

Masih kuingat hari itu selepas sholat maghrib, entah kenapa aku ingin menangis. Tiba-tiba air mataku tidak tertahankan lagi untuk menetes, iya mendadak aku merasakan kerinduan yang begitu dalam. Rindu pada kota Makkah dan Madinah.

Saat itu pikiranku berkecamuk.
Bagaimana ya rasanya berada disana?
Bagaimana ya rasanya melaksanakan salah satu ibadah yang dicintai oleh Allah, yaitu umrah?
Bagaimana ya rasanya bersujud bersama jutaan umat muslim tanpa mengenal ras, suku bahkan negara?
Betapa aku ingin merasakannya. Aku menangis, cukup lama. Hingga ibuku yang sehari-harinya kusebut dengan panggilan "umik" pun datang.

"Kenapa kamu menangis Nak?" tanya umik, sambil mengelus kepalaku.
"Umik, aku pingin umrah. Kapan ya Mik aku bisa kesana?" aku menangis di pangkuan umik.
"Kamu benar-benar mau tah Nak?" tanyanya lagi.
"Iya, aku pingin merasakan ibadah disana Mik."
"Kalau gitu umik daftarkan ya, insyaAllah kita umrah satu keluarga. Tapi adikmu ndak bisa ikut dulu, dia masih kecil. Gimana?"
"Mauuuu. Alhamdulillah, makasih umikkk" jawabku sambil memeluk ibuku, umikku.

Hingga detik yang kutunggu-tunggu itu tiba.
Saatnya aku dan keluargaku melaksanakan ibadah yang begitu kurindukan. Umrah.

Masih kuingat bagaimana tangisku saat akan meninggalkan negaraku, saat itu aku masih cemas. Namun aku sempat berdoa:
"yaAllah jika Engkau ingin mengambil ragaku disana, maka sungguh aku ikhlas. Aku ingin disholati oleh seluruh hamba Mu di dunia ini ketika sedang menghadap ke arah Ka'bah."

Ku mulai perjalananku di Madinah.
Aku ingat saat itu waktu untuk sholat ashar, disaat itulah pertama kali aku memandang kemegahan Masjid Nabawi. Masjid Rasulullah. Masjid Rasul seluruh umat muslim di dunia.

Masih dapat kurasakan hingga kini saat wajahku mencium lantai di Masjid Nabawi. Sungguh air mata tidak dapat berhenti menetes. Inilah impianku!
Hari-hari kuhabiskan untuk beribadah dan menikmati keindahan masjid itu. Duduk dibawah rindangnya cahaya, merasakan hembusan angin-angin penyejuk hatiku yang selama ini penuh keburukan.

Hingga hari Jum'at tiba, aku dan umik berniat untuk mengunjungi Raudhah, Taman Surga. Dimana setiap yang pergi ke Masjid Nabawi pasti berebut untuk mengunjunginya. Walaupun kami hanya berdua, namun keinginan untuk berkunjung ke makam Rasulullah dan kedua sahabat tersayangnya sangat kuat.
"Allahu akbar!" "Allahumma shalli aala muhammad" "yaAllah.. yaAllah" 
Begitulah teriak seluruh wanita saat itu yang sedang berjuang memasuki Raudhah yang bisa dibilang tidak mungkin dapat menampung semua dari kami dalam satu waktu.

Kugenggam tangan umik kuat-kuat, kulihat wajahnya yang mulai terbenam diantara kerumunan wanita-wanita besar, yang sangat jauh tingginya dibandingkan kami. Ingin rasanya kubatalkan niatku untuk masuk, aku takut umik kenapa-napa. Kupeluk dan kuminta umik berdiri di depanku agar aku bisa melindunginya.
"Umik kita kembali ke hotel aja ya?"
"Jangan. Sudah dekat. Yuk semangat. Allahuakbar!"
Aku menangis lagi, bahkan saat mengetik inipun aku jadi menangis jika teringat saat itu.

Hanya bermodalkan doa dan tekad akhirnya kami sampai tepat di depan Raudhah.
Kami sholat dan berdoa disana.
Seperti merasakan berdoa di hadapan Rasulullah. Nabi yang selalu menangisi umatnya bahkan hingga sebelum kematianya karena rasa cintanya yang begitu besar kepada kita.
Seperti merasakan kehadiran Umar Bin Khatab sang Singa Padang Pasir yang dikenal karena keberanian dan ketangkasannya dalam membela Islam.
Seperti merasakan kehadiran Abu Bakar Ash Shiddiq, sahabat nabi yang dikenal dengan kejujuran dan kesetiannya.

Hari itu aku berbahagia, satu tempat impianku sudah dapat kupandang keindahannya. Madinah Al Munawarah.

Hari yang kutunggu-tunggu berikutnya datang. 
Perjalanan untuk melaksanakan ibadah umrah. 
Setelah mengambil miqat di Bir Ali, akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke kota Makkah. 
Salah satu kota Haram, dimana tidak ada selain umat muslim yang diperkenankan datang kesana.

Sekitar jam 02.00 dini hari, kami siap melaksanakan ibadah umrah.
Masih kuingat hatiku yang berdegup begitu kencang ketika akan melangkahkan kaki ke Masjidil Haram. Tempat kedua yang begitu kuimpikan, kurindukan.
Tak kuasa aku menahan tangis, dengan bibir gemetar aku membaca doa ketika melihat Ka'bah.

Ibadah umrah pagi itu ditemani oleh purnama yang melingkar sempurna. Rasa kantuk mendadak sirna, kami melakukan sa'i dari Bukit Safa ke Bukit Marwah.

Selepas umrah, aku dan umik berdoa tepat dihadapan multazam. Kutumpahkan semua tangisku dan keresahanku di depan ka'bah.
Beberapa kali aku sentuh dengan lembut sebuah kurungan indah yang didalamnya terdapat jejak telapak kaki nabi Ibrahim yang disebut Maqam Ibrahim.

Tak puas dengan itu semua, dengan penuh sesak aku dan umik mencoba untuk sholat di sebuah tempat berbentuk setengah lingkaran tepat di sebelah utara ka'bah yang disebut Hijir Ismail. Aku begitu bahagia saat itu karena Allah benar-benar memudahkan semuanya.

Hingga sampailah di hari akhir, saat aku harus berpisah dari tempat ini. Siang itu cukup panas, aku melaksanakan tawaf wada' sebagai penghormatan terakhir untuk Ka'bah dan Masjidil Haram. Entah mengapa tiba-tiba hatiku tergerak untuk mendekati salah satu sudut Ka'bah yang sangat ramai oleh ratusan manusia, yaitu Hajar Aswad. Begitu ingin aku menggapainya dan mencium batu tersebut. 

"Mik, aku pingin banget bisa cium Hajar Aswad. Tapi ramai Mik.." kataku pada umik.
Sepertinya umik juga merasakan hal yang sama.
Hingga akhirnya umik menggenggam tanganku erat, kami menembus arus pergerakan tawaf dan mulai bergeser ke arah samping untuk mendekati Hajar Aswad.

Dan entah bagaimana, semua adalah kuasa Allah. Akhirnya aku dan umik dapat mencium batu tersebut. Batu hitam, Hajar Aswad. Lailaahailallah..
Aku menangis, untuk yang kesekian kalinya. Terbayarlah sudah semua kerinduanku untuk mendatangi dua tempat impianku. Madinah Al Munawarah dan Makkah Al Mukarramah. 

Dan kini, aku benar-benar merindukan kedua tempat suci tersebut.

Ya Allah, undang aku. 
Undang kami semua untuk dapat menjadi tamu di rumah terindah Mu.
​Aamiin :)

You Might Also Like

0 komentar